Jurnal Kuliah 1 Juni 2010

KONSEP PENALARAN HERMENEUTIKA

Terdapat 2 konsep penalaran teori hermeneutika, yaitu :

1. Analitis, yaitu suatu gerakan sentrifugal (outwards moving); pemecahan kesatuan menjadi bagian-bagian. Pola gerakannya adalah deduktif yaitu dari dalam ke luar

2. Sintetis, yaitu suatu gerakan sentripetal (inwards moving); penggabungan bagian-bagian yang tadinya terpecah menjadi satu kesatuan kembali. Pola

gerakannnya adalah induktif yaitu dari luar ke dalam.


Pola suatu perbuatan pidana
CRIME = Actus Reus + Mens Rea + Absence of a valid defence

Actus reus = Perilaku yang sudah diatur sebagai tindakan menyimpang baik secara hukum maupun moral.

Absence of a valid defence = tidak ada alasan pembenar / pemaaf

Dalam teori Hermeneutika actus reus ini dikenal sebagai teks.


Mens Rea dan Absence of a Valid Defence adalah sebagai konteks yang merupakan kajian sosiologi itu sendiri.

Jadi dalam perbuatan pidana, yang diperhatikan bukan hanya dari segi actus reus saja, karena jika dilihat secara actus reus, maka tidak ada pembelaan lagi bagi mereka yang melakukan perbuatan pidana, terutama unsur psikologis atau suatu paksaan, dan diperlukan mens rea serta absence of a valid defence untuk melengkapinya agar perbuatan pidana itu menjadi jelas.


Pendapat Paul Ricoeur (1913-2005) mengenai latar belakang terbentuknya sejarah

Beliau berpendapat bahwa semula, sejarah itu masing-masing adalah peristiwa tindakan dan ucapan manusia yang berdiri sendiri, yaitu waktu manusia

Menurut pendapatnya, ada ketegangan antara manusia sebagai berikut :

· manusia sebagai makhluk fisik yang tunduk pada hukum biologis, alamiah

· manusia sebagai makhluk berkehendak bebas (dalam buku karangannya yang berjudul Freedom & Nature”)

· ada ketegangan antara waktu kosmologis (lampau, kini, yang akan datang) dengan waktu manusia

Peristiwa dalam sejarah akan berhubungan jika terdapat suatu PLOT yang menghubungkan peristiwa tersebut. Plot itu sendiri ditentukan oleh pengarangnya yang disebut arbiter dan tujuan dibuatnya plot itu adalah untuk meyakinkan public bahwa alur cerita dalam sejarah itu terkesan alamiah tanpa adanya suatu sabotase. Rangkaian dari plot itu akan membentuk suatu narasi. Jadi sejarah terbentuknya sejarah adalah karena adanya narasi tersebut. Dan plot merupakan sarana dalam narasi untuk mengubah waktu manusia (peristiwa yang direka pengarang) menjadi waktu kosmologis (seakan-akan terjadi secara alamiah).

Hermeneutika & Masa Depan Ilmu Hukum

Hermeneutika berasal dari kata “Hermes” yaitu Dewa Yunani Kuno yang tugasnya menyampaikan pesan Hermeneutika yaitu teori-teori ilmu menafsirkan suatu pesan. Dari segi etimologis, hermeneutika juga ada yang berasal dari kata “Hermeneuein” yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda “hermenia’ yang berarti penafsiran atau interpretasi.


Hermes adalah salah satu dewa dalam mitologi Yunani, ia dianggap sebagai dewa keberuntungan, dewa pelindung bagi kaum pedagang, dan juga dewa pengirim berita. Dalam mitologi Romawi, ia disebut juga sebagai Mercurius. Hermes adalah anak Zeus dan Maia.

Ciri fisiknya adalah tubuh yang mungil yang selalu mengenakan topi bersayap dan juga sandal bersayap. Ia sangat cepat dalam berkata-kata dan juga berlari. Hermes menjabat sebagai pembawa pesan Zeus dan pemandu bagi roh yang menuju neraka. Hermes memiliki tongkat yang disebut Caduceus.

Sumber hukum berkaitan dengan fakta hukum

Menurut Paul Scholten, pemikir dari Belanda, hukum itu ada, tetapi harus ditemukan (“Het Recht Is Er, Doch Het Moet Worden Gevonden”). Hukum itu ternyata

1. Tidak selamanya jelas karena beberapa faktor yang menyebabkannya yaitu :

- Ada kata yang bermakna ganda (ekuivok)

- Ada perbedaan konteks antara saat aturan itu dibuat dan kondisi terlarang

- Ada perbedaan pengertian antara satu alasan dengan aturan lainnya

2. . Tidak selalu tersedia karena aturannya memang belum dibuat. Jadi caranya (jalan keluar) adalah dengan melakukan konstruksi dan interprestasi

Teks pertama kali dibuat à perjalanan waktu à teks diartikan dlm berbagai versi

(productive) (reproductive) (apa maknanya sekarang)

Jadi, secara garis besarnya, hermeneutika terkait dengan :

1. Teks (bahasa).Dapat diartikan sebagai interpretandum

2. Konteks (ruang dan waktu), yaitu :

- ketika teks dibuat

- ketika teks ditafsirkan

3. Kepentingan, dapat pula diartikan sebagai interpretator, yakni :

- si pembuat teks pertama kali

- si penafsir terdahulu (audiens sebelumnya)

- si penafsir sekarang (audiens sekarang)

Interpretator = orang yang menginterpretasikan

Interpretandum = objek yang diinterpretasikan

Diantara interpretator dan interpretandum selalu terdapat jurang pemisah. Kesenjangan inilah yang menjadi persoalan yang ingin dikaji oleh Hermeneutika itu sendiri.

Pandangan Pengemuka Hermeneutika

1. Friedrich Schleiermander (1768 – 1834)

Menurut beliau untuk mempelajari Hermeneutika, terlebih dahulu harus memahami konteks kehidupan si penulis teks (kehidupan penulis saat teks ditulis).

2. Wilhelm Dilthley (1833 – 1911)

Menurut beliau, yang harus dipahami terlebih dahulu adalah konteks sejarah saat teks ditulis (konteks sosial saat teks ditulis).

3. Martin Heidegger (1884 – 1976)

Menurut beliau, sesuatu ada, dalam hubungannya dengan … (konteks hubungan antara teks dengan teks lainnya).

4. Hans-Georg Gadamer (1900 – 2002)

Menurut beliau, konteks sejarah si penafsir berperan (konteks sejarah saat teks ditafsirkan).

Teori Pembangunana Hukum (Philip Selznick)


Sistem Hukum (Pengadilan)
Hukum sebagai Mekanisme Pengintegrasi (Bredemeler)




Proses Pengintegrasian

Masukan dari fungsi Adaptasi (Ekonomi)
Pengerjaan tugas (sosial)
Mempertahankan pola (Budaya)

Sistem Hukum (Pengadilan)

Penataan kembali proses produksi dalam masyarakat
Legalisasi dan konkretisasi tujuan -tujuan masyarakat
Keadilan


Hukum dan Politik
Daniel S Lev (ahli Indonesia)
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

3 tipe hukum (terkait aspek politik)
~Represif
~Otonom
~Responsif
(semakin ke bawah semakin demokratis)

Hukum Represif
~Ditandai adanya adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik
~Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik
~Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai sebagai alat kontrol yang resmi
~Tidak memperhatikan kepentingan orang yang diperintah

Hukum Otonom
~Hukum mulai seimbang dengan politik dan tidak sembarangan
~Legitimasi untuk keabsahan
~Legitimasi keadilan sesuai prosedur
~Aturannya luas dan rinci
~Aturannya mengikat pada penguasa yang membuatnya
~Mempunyai dasar pembenar yang legal
~Hukum mulai independent dari politik

Hukum Responsif
~Hukum dan politik saling melengkapi
~Masyarakat lebih sejahtera
~Kompetensi,orang yang rajin sesuai dengan hasilnya

Dari ketiga hukum di atas yang paling ideal adalah HUKUM RESPONSIF
Karena keadilan yang menembus prosedur( keadilan substansif) tersebut berasal dari prinsip-prinsip yang berorientasi tujuan untuk mencapai kompetensi.

Pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hukum (Moh Mahfud)
Konfigurasi Politik ===>Karakter produk hukum
Demokratis ===> Responsif otonom
Non demokratis/otoriter===>Represif,ortodoks,konservatif

Ciri-ciri demokratis (1955-1959)
~Peran serta publik dalam pembuatan kebijakan negara
~Badan perwakilan menjadi badan
~Pers bebas menjadi alat kontrol

Ciri-ciri konfigurasi otoriter:
~Pemerintahan dominan
~Pers tidak bebas




Pluralisme Hukum

Pluralisme Hukum
Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial.
Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.



Pluralisme Hukum di Indonesia

Pluralitas sendiri merupakan ciri khas Indonesia. Dengan banyak pulau, suku, bahasa, dan budaya, Indonesia ingin membangun bangsa yang stabil dan modern dengan ikatan nasional yang kuat. Sehingga, menurutnya menghindari pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan yang berbeda mengenai cara pandang dan keyakinan yang hidup di masyarakat Indonesia.

Menurut Prof. Erman, kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat diterapkan dalam transaksi tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya.

Sementara itu, The Commission on Folk Law and Legal Pluralism Prof. Anne Griffith ditemui di sela-sela acara tersebut, menjelaskan bahwa saat ini kita hidup tidak dengan satu hukum tetapi dengan berbagai hukum sehingga pemahaman mengenai pluralisme hukum perlu diberikan kepada pengambil kebijakan, ahli hukum, antopolog, sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya.

Pengertian pluralisme hukum sendiri menurut Sulistyowati Irianto, pengajar antropologi hukum di Universitas Indonesia,senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya. Bahkan dengan dengan adanya globalisasi, menurut Sulis hubungan tersebut menjadi semakin komplek karena terkait pula dengan perkembangan hukum internasional.

Terkait perkembangan hukum dalam era globalisasi, Anna Witasari dalam pemaparannya sebagai pembicara acara tersebut, menyatakan bahwa dengan globalisasi maka hukum negara menjadi semakin tidak mempunyai kekuatan. “Hukum negara harus mengakomodasi akibat dari perubahan dalam globalisasi,” tutur Anna memberikan solusi.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Perdata Internasional Universitas Indonesia Prof. Zulfa Djoko Basuki menilai bahwa pluralisme hukum dalam batas-batas negara hanya menyangkut hukum perdata internasional.

Terkait pluralisme hukum yang ada Indonesia, Erman menyatakan bahwa kendala terberat adalah dalam mewujudkan kepastian hukum. Hukum di Indonesia menurut guru besar tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Bahkan pemberantasan korupsi sampai saat ini pun oleh Prof. Erman diakui sangat sulit karena dalam penegakannya banyak mempertimbangkan faktor politik.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Sulistyowati. Menurutnya, pengaruh politik juga tampak kuat dalam pembentukan peraturan-peraturan daerah (Perda) saat ini. Ditambahkan oleh Sulis, elit daerah saat ini mengalami kebingungan dalam menentukan identitas daerah setelah 32 tahun dalam kungkungan orde baru yang sentralistis.

Pluralisme hukum ini makin menjadi isu penting karena:
1)Peninggalan Hindia Belanda yang belum tergantikan
2)Eksistensi hukum adat yang masih kuat di beberapa daerah di Indonesia
3)Penerapan hukum syarian di beberapa wilayah
4)Kondisi transional.Yaitu masuknya perusahaan-perusahaan multinasional corporation
5)Tidak adanya desain hukum nasional di Indonesia


Skema Pembentukan Sistem Hukum Nasional

1) Pancasila
2) UUD 1945
3) Per Undang-Undangan
4) Yurisprudensi
5) Hukum Kebiasaan

Sistem Hukum
1) Hukum Adat
2) Hukum Islam
3) Sistem Hukum Barat
4) Sistem Hukum Negara
(Hukum adat dan hukum agama hanya veriverial)

Theory Cheos dari Charles Stamford
1) Hukum bukan suatu sistem yang tertib dan teratur
2) Hukum bukan realitas utuh yang bisa direduksi
3) Hukum bukan suatu relasi yang seimbang
4) Hukum bukan narasi yang bebas nilai
Teori ini dikemukakan Charles sekitar tahun 1989 dalam bukunya “Disoder of Law”.

Berkisar pada 3 pertanyaan dasar:
- Apakah hukum sama dengan hukum negara; apakah aturan normatif lainnya juga hukum?
- Apakah pluralisme hukum, konsep hukum, konsep politik, dan proses analitis komparatif?
-Apakah proses pluralisme hukum memungkinkan analisis tentang hubungan kekuasaan di antara berbagai aturan hukum?

Pemerintah Hindia-Belanda pernah mencoba menerapkan unifikasi hukum, namun gagal, lalu:
- Orang-orang Bumiputera dibiarkan menjalankan menjalankan hukum adat dan lembaga-lembaga agamanya;
- Jika perlu menjalankan hukum Eropa, dan orang Bumiputera harus menundukkan diri.

1)Pluralisme Hukum adalah sebuah cangkupan istilah hukum
yang merupakan mashab sejarah vs kaum etatis (hanya negara yang layak disebut hukum)

2) Konsep analitis komparatif dan konsep politik hukum.
Ada berkat pengakuan sistem hukum negara, melahirkan:
- Pluralisme negara ( Wodman).
- Pluralisme relatif ( Vanderlinden).
- Pluralisme lemah ( Griffink).

3) Hubungan Hukum kekuasaan di antara berbagai sistem hukum.
Kekuasaan negara memegang peranan dalam menentukan pola hubungan pola antar sistem hukum.Sally F. Moore mengatakan bahwa kekuasaan sangat bergantung pada konteks. Dalam konteks tertentu, kekuasaan negara hampir tak berperan, sebab setiap masyarakat memiliki wilayah sosial yang semi otonom

Critical Legal Studies

Hukum itu adalah produk Negara - by design ( dibuat oleh Negara). Secara teoritis, hukum itu dibuat untuk menegakkan keadilan dalam lingkungan masyarakat, jadi konsep demi hukum sama dengan demi keadilan karena wujud dari keadilan adalah hukum itu sendiri. Hukum itu seolah-olah bersifat monolitik, jadi negara yang berhak menafsirkannya karena Negara dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk mengatasi segala permasalahan yang bermunculan di masyarakat.

Critical Legal Studies (CLS) mempelajari tentang studi hukum kritis dimana studi hukum ini ingin menerangkan bahwa hukum “law in the books” seyogyanya tidak sejalan dengan “law in action”. CLS dapat dianalogikan seperti mempelajari patologi sosial (studi tentang sosiologi yang sakit) dimana hukum yg itu sakit sehingga tidak berjalan dengan semestinya dan tidak bekerja secara efektif dan efisien dikarenakan oleh hal – hal tertentu yang akan diuraikan dalam CLS.

Latar Belakang CLS

Ada 3 konsep tradisi dari terbentuknya CLS yakni dipelopori oleh Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.

Di AS, CLS lahir sekitar tahun 1977 dalam pertemuan di kota Madison (Wisconsin). Yang menggagasi terbentuknya CLS ini diantaranya :

· Akademisi pejuang hak-hak sipil (buruh, anak-anak, dll)

· Aktivis anti perang Vietnam (1960-1970)

· Ilmuan yang tertarik pada kritik Marxis atas struktur sosial.

· Praktisi hukum dibidang advokasi publik.

Dari hasil pertemuan itu, mereka menemukan suatu kesepakatan bahwa hukum sering dipakai untuk melegitimasi kepentingan kelas-kelas / kepentingan –kepentingan tertentu (misalnya kaum borjuis / kelas penguasa). Contoh: agar hukum perlindungan konsumen tidak muncul, maka diasumsikan kedudukan produsen dan konsumen adalah sejajar (tetapi pada akhirnya UU itu juga berlaku). Produk hukum yang baru sulit lahir dikarenakan adanya kesepakatan antara pengusaha dan penguasa agar produk hukum yang nantinya akan dibuat, dapat meminimalisir hal-hal yang dapat merugikan pihak pengusaha tersebut. Pada Negara Amerika Serikat sendiri juga sebenarnya hukum perlindungan konsumen merupakan produk hukum yang relatif baru. Produk hukum ini dapat muncul karena adanya tuntutan dari masyarakat sehingga mengakibatkan pengusaha terbebani karena UU itu. CLS pada dasarnya selalu mencurigai setiap Undang-Undang, tetapi bukan berarti CRITS (penganut CLS) itu apartis karena mereka lebih kepada mengkritisi setiap UU yang ada.

Critical Legal Studies tidak berpijak pada satu model norma tertentu dan tidak pernah bertujuan untuk dapat menemukan satu model norma tertentu tersebut. Akan tetapi gerakan ini mencoba mencermati teori dan praktek hukum yang sepenuhnya antitesis yang oposisinya didasarkan pada argumen tersendiri.

Pada abad ke 19, seorang pemikir dari Brazil, Roberto Unger mengemukakan tentang teori “masyarakat pasca liberal”. Beliau mengemukakan bahwa terjadi pergeseran prinsip bernegara dari liberal klasik ke pasca liberal. Penyebabnya adalah :

· Jumlah peraturan dan praktisi makin banyak

· Dalam pasca-liberal negara justru makin intervensionis sehingga mengakibatkan hukum makin berpihak

· Hakim menerapkan “standart terbuka” dalam memberi makna (banyak makna, tergantung hakim) seperti pendekatan purposif. Jadi, lembaga peradilan mulai menyerupai lembaga administratif dan lembaga politik lainnya.

CLS tidak sependapat dengan adanya otoritas hukum yang tinggi dari negara karena masyarakat sendiri mempunyai otonominya masing-masing sehingga masyarakat bisa mengatasi masalahnya sendiri. Jika negara selalu ikut campur, akan mengakibatkan timbulnya masalah baru yang lebih berbelit-belit.

Dasar dari pemikircan CLS itu sendiri adalah :

· Hukum adalah alat kekuasaan (produk politik) sehingga aturan hukum = aturan politik

· Tak ada “the rule of law”, yang ada “the political rules”

· Politik terkait kekuasaan

· Aturan hukum = aturan dari siapa yang berkuasa.

CLS sangat menentang dua tradisi yang sangat melekat pada positivisme hukum, yaitu tentang konsep rule of law dan legal reasoning.

1. Rule Of Law

Konsep ini memberi jaminan bagi kebebasan individual dan kesamaan kedudukan di hadapan hukum atau dikenal sebagai Negara hukum (konsep equality before the law).

2. Legal Reasoning (Penalaran Hukum)

Menurut CLS, tidak ada penalaran hukum . yang ada hanyalah penalaran moral dan politik.

Hukum itu sendiri adalah ilmu nalar (deduktif) dan yang menjadi pola Legal Reasoning adalah silogisme.


Hukum nalar deduktif (penalaran hukum dari yang umum ke khusus) terdiri dari :

· premis mayor, diturunkan dari aturan-aturan normative

· premis minor, yaitu fakta-fakta yang ada di masyarakat

· konklusi yang merupakan keputusan hukum

Berkenaan dengan konsep Rule Of Law, pernyataan tentang semua orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) adalah omong kosong belaka karena pada kenyataannya terdapat banyak sekali hirarki kekuasaan dalam masyarakat (contoh : kulit putih-berwarna , majikan-buruh, orang dewasa-anak-anak, dll). Hukum secara jelas tidak dapat melepaskan diri dari perbedaan hirarki ini meskipun kaum positivisme hukum seringkali menyangkalnya.

Kritikan CLS terhadap kaum liberal :

1. Kritik terhadap hak

Menurut CLS, wacana “hak” oleh kaum liberal hanya menguntungkan kelas tertentu. Negara berusaha mencari solusi dari pertentangan hak ini, seolah-olah Negara berperan sebagai suatu lembaga yang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan masalah ini. CLS mengkritik bahwa Negara tidak pernah memandang kemampuan dari masyarakat yang sebenarnya juga dapat menyelesaikan permasalahan hak itu secara sendiri, jadi kemampuan masyarakat itu dibatasi dan dikekang karena keegoisan dari pihak-pihak yang terkait.

2. Kritik terhadap pendidikan hukum

Menurut CLS, pendidikan hukum hanya sekedar sebagai ajang ideology yaitu demi kepentingan pemerintah dan penguasa. Pendidikan hukum itu sebenarnya bisa menjadi pendidikan yang "membebaskan" para calon kaum intelek untuk berargumentasi, (contoh sederhananya adalah mahasiswa) dengan lebih dahulu memahami 2 aspek, yaitu aspek sosiologis-politis dan aspek etis dari para pihak yang terlibat di dalam suatu hubungan hukum. Menurut kaum liberal tidak ada kontradiksi antara kepentingan sosial dan individu dikarenakan negara akan melindungi kebebasan individu, seperti yang tercantum dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Tetapi CRITS meyakini bahwa ada kontradiksi yang pokok (bersifat fundamental) antara kepentingan sosial dan individu. Semua kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang terkait itu pada dasarnya relatif dan kultural, tidak bersifat universal.

Karena adanya kritik-kritik di atas, maka CRITS sering dianggap sebagai suatu ajaran yang hanya bisa member kritikan tanpa dapat memberikan suatu solusi yang baik untuk menata hukum itu agar kembali menjadi efektif. Owen Fiss yang merupakan salah satu dari CRITS pernah menyatakan bahwa CLS selalu ingin membuka topeng hukum, tetapi tidak bermaksud menjadikan hukum tambah efektif.

Hal inilah yang membuat CLS ingin mengubah statement buruk tentang dirinya dengan tanggapan dari CRITS yang menyatakan bahwa kritik diperlukan untuk membuka suatu transformasi tradisi hukum karena dewasa ini hukum sudah kehilangan klaimnya untuk menjamin peradaban dan obat prosedural bagi dunia nyata yang penuh konflik.

Pesan yang dapat kelompok kami berikan untuk materi kali ini adalah agar Negara dapat benar – benar memihak yang benar demi terciptanya stabilitas dan keadilan hukum itu sendiri. Mungkin kelihatannya memang tidak segampang membalikkan telapak tangan, tetapi kalau dapat dimulai dari pribadi masing-masing, tentu akan berkembang terus dan akhirnya sosiologi hukum yang dilihat dari potret masyarakat itu sendiri tidak menjadi suatu sosiologi yang sakit itu dapat berkurang dan menuju ke arah yang lebih baik lagi.

Empat Teori Penting dalam Sosiologi

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadang kala fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah sosial dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya. Disimpulkan bahwa tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di masyarakat.


Teori Fungsional Struktural

Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.

Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional – structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.

Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.

Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini ( fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.

teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :

1. pencarian pemuasan psikis

2. kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis

3. kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.

4. usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.


Teori Konflik

Teori Konflik yang digagas oleh Marx didasarkan pada kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh. Bagi Marx, dalam masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yakni kaum borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Antara kedua kelompok ini selalu terjadi konflik. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik (Camplell, 1994: 134).

Penerus gagasan Marx, di antaranya adalah Ralf Dahrendorf. Dia melakukan revisi atas pemikiran Marx. Baginya, pengelompokan kelas sosial tidak lagi hanya didasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan-hubungan kekuasaan. Terdapat sejumlah orang yang memiliki dan turut serta dalam struktur kekuasaan, terdapat pula yang tidak masuk kekuasaan.

Dalam hal ini terkandung tiga konsep penting: kekuasaan, kepentingan, dan kelompok sosial. Pada gilirannya nanti, menurut Garna (1992: 66), diferensiasi kepentingan yang terjadi dapat melahirkan kelompok konflik potensial atau kelompok konflik aktual yang berbenturan karena punya kepentingan antagonistik.

Menurut Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya dapat terbentuk dan dipertahankan. Karena konflik lebih banyak dilihat dari segi fungsi positifnya, maka Teori Konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial.


Teori Interaksi Simbolik

Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920).

Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan (Mulyana,2002).

Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi, diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.

Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles Peirce dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Ketiga, manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan.

Teori Pertukaran Sosial

Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans dalam analisanya berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.

Berbeda dengan analisa yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi pada interaksionisme simbolik. Homans lebih jauh berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik.[1] Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh para ahli sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisa pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi individual yang tidak dapat dilihat besarnya. Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukuran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.