Empat Teori Penting dalam Sosiologi

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadang kala fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah sosial dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya. Disimpulkan bahwa tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di masyarakat.


Teori Fungsional Struktural

Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.

Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional – structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.

Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.

Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini ( fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.

teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :

1. pencarian pemuasan psikis

2. kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis

3. kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.

4. usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.


Teori Konflik

Teori Konflik yang digagas oleh Marx didasarkan pada kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh. Bagi Marx, dalam masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yakni kaum borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Antara kedua kelompok ini selalu terjadi konflik. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik (Camplell, 1994: 134).

Penerus gagasan Marx, di antaranya adalah Ralf Dahrendorf. Dia melakukan revisi atas pemikiran Marx. Baginya, pengelompokan kelas sosial tidak lagi hanya didasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan-hubungan kekuasaan. Terdapat sejumlah orang yang memiliki dan turut serta dalam struktur kekuasaan, terdapat pula yang tidak masuk kekuasaan.

Dalam hal ini terkandung tiga konsep penting: kekuasaan, kepentingan, dan kelompok sosial. Pada gilirannya nanti, menurut Garna (1992: 66), diferensiasi kepentingan yang terjadi dapat melahirkan kelompok konflik potensial atau kelompok konflik aktual yang berbenturan karena punya kepentingan antagonistik.

Menurut Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya dapat terbentuk dan dipertahankan. Karena konflik lebih banyak dilihat dari segi fungsi positifnya, maka Teori Konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial.


Teori Interaksi Simbolik

Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920).

Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan (Mulyana,2002).

Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi, diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.

Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles Peirce dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Ketiga, manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan.

Teori Pertukaran Sosial

Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans dalam analisanya berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.

Berbeda dengan analisa yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi pada interaksionisme simbolik. Homans lebih jauh berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik.[1] Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh para ahli sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisa pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi individual yang tidak dapat dilihat besarnya. Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukuran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.